Imunisasi Menghemat Biaya Kesehatan 25 Kali

Imunisasi bisa menghemat 20-25 kali biaya kesehatan nasional. Saat ini program imunisasi kurang berjalan karena implementasi kebijakan kesehatan di tingkat pusat dan daerah tidak konsisten.

“Efektivitas biaya kesehatan dari imunisasi sangat tinggi,” kata Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Prof Ascobat Gani, Selasa (8/9) di Jakarta. Contoh, untuk mencapai cakupan imunisasi lengkap lebih dari 80 persen, satu desa butuh dana sekitar Rp 1 juta. Dengan imunisasi, biaya pengobatan untuk penyakit menular yang bisa dicegah dengan imunisasi bisa ditekan hingga 20-25 kali.

“Ini belum termasuk manfaat lain, yaitu mencegah kecacatan dan kematian anak, kehilangan waktu produktif karena harus menunggui anak sakit, dan kualitas hidup menurun karena kecacatan yang ditimbulkan penyakit itu,” ujarnya. “Mengingat tingginya efektivitas biaya itu, imunisasi telah menjadi kebijakan global di banyak negara,” kata Ascobat. Apalagi imunisasi bisa meningkatkan kualitas hidup anak yang mendapat imunisasi dan mencegah kematian akibat penyakit.

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Badriul Hegar menambahkan, biaya pengobatan dan kecacatan yang mungkin terjadi bisa ditekan. Apalagi imunisasi wajib sesuai program pemerintah gratis di puskesmas, orang tua bayi yang akan mendapat imunisasi hanya mengeluarkan ongkos transportasi menuju puskesmas atau posyandu terdekat.


Anggaran kecil

Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, anggaran rutin imunisasi wajib diberikan sesuai program imunisasi berkelanjutan. Pendanaan pengadaan logistik vaksin tidak bergantung pada bantuan asing.

Alokasi anggaran rutin imunisasi Depkes tahun 2009 sekitar Rp 400 miliar untuk sasaran sekitar 5 juta bayi. Dana itu digunakan untuk pengadaan alat suntik, vaksin, dan kotak pengaman vaksin. Adapun dana operasional untuk pemantauan dan supervisi pemerintah pusat sekitar Rp 1,5 miliar. Sementara itu, dana operasional untuk membawa vaksin dari dinas kesehatan di daerah menuju sasaran menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pada era desentralisasi daerah, keberhasilan pencapaian cakupan imunisasi lengkap juga bergantung pada komitmen pemda setempat.

Menurut penghitungan, biaya kesehatan di delapan provinsi di Tanah Air, ujar Ascobat, proporsinya lebih banyak untuk pembangunan sarana fisik dan pengadaan alat-alat kesehatan. Anggaran untuk kesehatan ibu dan anak dan imunisasi kurang dari 2 persen dari total anggaran kesehatan di daerah. Di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, misalnya, sebagian besar anggaran digunakan untuk kuratif, administrasi, dan infrastruktur. Proporsi anggaran operasional imunisasi hanya 0,6 persen dari total anggaran kesehatan.

“Ini menunjukkan terjadi miskonsepsi atau salah persepsi di kalangan pimpinan daerah. Pembangunan kesehatan identik dengan pelayanan kesehatan gratis, bukan promotif, dan pencegahan penyakit,” kata Ascobat. Kondisi ini terjadi karena latar belakang kepala daerah beragam sehingga pemahaman masyarakat rendah.

“Departemen Kesehatan seharusnya mengadvokasi para kepala daerah untuk mengalokasikan anggaran sesuai prioritas,” ujarnya. Bercermin dari sasaran pembangunan milenium, pembangunan kesehatan harus fokus kepada upaya menekan angka kematian ibu dan balita, di antaranya melalui promosi kesehatan dan imunisasi.

Masalahnya, Depkes sendiri dinilai tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan. Meski visi Depkes adalah “Indonesia Sehat”, ternyata pendekatan pembangunan kesehatan menitikberatkan pada aspek kuratif. Hal ini bisa dilihat dari tingginya proporsi anggaran untuk pelayanan medik dan pengadaan alat kesehatan. Dari anggaran tahun 2007, alokasi anggaran untuk Direktorat Jenderal Pelayanan Medik 40 persen, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 10,7 persen, dan Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat 21 persen. “Ini menunjukkan, penganggaran Depkes belum mencerminkan MDGs atau sasaran pembangunan milenium,” lanjut Ascobat.

Oleh karena itu, meski anggaran nasional sektor kesehatan terus meningkat, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tetap tinggi. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pun tertinggal dari Vietnam.

“Untuk itu, pengalokasian anggaran kesehatan perlu dibenahi di tingkat pusat dan daerah,” ujarnya.


Sumber: Kompas 9 September 2009